Hot News

Siamloy Divonis 7,6 tahun, Koedoeboen : Kajari MBD Tidak Tuntas Belajar Hukum

AMBON,MALUKU – Mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Alfonsius Siamloy divonis 7 tahun 6 bulan penjara, dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan Pembayaran Biaya Langsung Perjalanan Dinas Dalam Daerah dan Luar Daerah, pada Sekretariat Daerah setempat di tahun anggaran 2017 dan 2018 dengan kerugian hingga Rp 1,5 miliar.

Pantauan INTIM NEWS, terdakwa dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana yang diatur dan diancam pada pasal 2 ayat (1), jo pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo pasal 55 ayat (1) ke-1, jo pasal 64 ayat (1) KUH Pidana.

Menanggapi putusan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan MBD, salah satu tim kuasa hukum Siamloy, Djalaludin Koedoeboen usai persidangan, Senin (10/04/2023), angkat bicara.

” Ini sangat tidak profesional. Kami kira dalam konteks ini Kajari MBD tidak tuntas belajar hukum. Harus dievaluasi, ‘Memalukan” dari segi penegakan hukum di negeri ini,” kesalnya.

Menurutnya, nampaknya pemahaman dan orientasi klasik yang digunakan JPU dalam tuntutan ini, yaitu hukum sebagai pembalasan dendam.

Dirinya menilai, kok didakwakan dalam jabatan sebagai sekda dan pengguna anggaran? Seharusnya membuktikan tidak dalam jabatan, maksudnya hanya untuk memperberat hukuman padahal hukuman maksimal hanya 4 tahun.

” Sesungguhnya putusan ini, jauh dari nalar, sisi kemanusiaan bahkan juga dari norma hukum sebenarnya. Kalau kita ingin mencari kebenaran materiil maka sesungguhnya fakta persidangan yang ada pasti harus disuguhkan dan dihadirkan secara utuh dan total,” singkatnya.

Artinya, lanjut mantan Ketua DPRD Kota Tual tersebut karena kita lihat ada sekian banyak uang ratusan juta yang kemudian mengalir ke oknum pejabat tertentu,  dalam hal ini juga atas kebijakan Bupati dalam konteks pelaksanaan perintahnya sendiri oleh saudara Sekda.

” Maka saya kira, harus ada pertanggung jawaban hukum yang utuh sehingga, melihat permasalahan ini tidak sepenggal-penggal,” cetusnya.

Selain itu, yang kita sayangkan seolah-olah ada kesan JPU menyembunyikan kebenaran yang sesungguhnya. Menghadirkan kesalahan yang lain, seolah-olah itu dibebankan kepada saudara terdakwa.

Untuk itu, ujarnya, kami minta ajukanlah bupati itu supaya fakta persidangan kita tahu siapa yang benar. Lalu kenapa justru mantan Sekda yang menjadi satu-satunya tersangka, sementara bendahara yang melakukan semua kegiatan pengeluaran bahkan dirinya sendiri menikmati secara langsung, bahkan tanpa ketahuan yang diajukan sebagai tersangka dan terdakwa.

” Bagaimana bisa, sekian banyak yang membuat dan menerima uang atas kerjasamanya dengan bendahara, malah dibebankan kepada terdakwa. Ini kan bahaya, aneh, tidak tahu bagaimana pandangan mereka terhadap pasal 18 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 itu,” bebernya. (Vera)

Print Friendly, PDF & Email
Comments
To Top