ELAT,MALUKU – Uskup Agung Keuskupan Amboina, Mgr. Seno Ngutra, bersama Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Maluku, Ketua Klasis GPM Kei Kecil dan Kota Tual Pdt. Elly Belwawin, menyampaikan siraman rohani di sertai pesan damai kepada masyarakat di wilayah Kei Besar, untuk mengakhiri segala bentuk pertikaian.
Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara selain menggagas doa bersama, juga digelar ritual adat berupa pemasangan Sasi Adat (Hawear Balwirin) stop kekerasan, oleh seluruh raja-raja di Kepulauan Kei, yang berlangsung di lapangan Ngurmas Yamlim, Elat, Kecamatan Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku, Sabtu (17/12/2022).
Uskup Keuskupan Amboina Mgr. Seno Ngutra mengemukakan, sebagai anak Kei Besar Ia merasa sedih, dengan peristiwa pertikaian yang terjadi di Kei Besar. Uskup Agung, lantas menceritakan tentang bagaimana saat masa kecilnya hingga remaja Ia lalui dengan suasana penuh damai nyaman dan ramai, ketika masa-masa bersekolah di SMP Savio Katlarat Elat dulu.
” Saya tidak punya memori sedikitpun di kala itu, tentang perkelahian baik antar agama dan antar desa. Terutama, di kota Elat yang tercinta ini. Elat adalah kota yang penuh dengan kenangan indah. Sehingga, peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu tentu membuat kita semua menangis. Menangisi kebodohan dan kesalahan kita karena tidak ada yang menang dalam sebuah perang ataupun konflik yang terjadi,” ungkap Uskup.
Ino, sapaan akrab Uskup Agung ini menuturkan, dulu wilayah Kei Besar paling aman namun ketika akhir-akhir ini terjadi peristiwa pertikaian, menurut Uskup, orang Evav mungkin telah melupakan adat istiadat serta rasa kekeluargaan penuh fangnanan. Untuk itu, Uskup meminta agar semua orang mengingat kembali bagaimana indahnya hidup bersaudara dalam bingkai Ain Ni Ain.
” Apa yang terjadi adalah sebuah kesalahan, namun Tuhan tidak melihat berapa kali anda jatuh, melainkan Tuhan melihat bagaimana anda bangkit dan berjalan kembali, maka hari ini kita di wilayah ini harus bangkit dan kembali berjalan bersama-sama sebagai orang bersaudara di tanat Evav ini ,” ajak Uskup.
Senada disampaikan Ketua MUI Maluku, Abdullah Latuapo mengungkapkan, apa yang kita lakukan bersama Pemda saat ini adalah niat yang suci dan mulia untuk membangun kembali kesadaran warga di Maluku pada umumnya dan lebih khusus di Kabupaten Maluku Tenggara, Kei Besar, untuk memperbaiki kehidupan persaudaraan Pela Gandong dan Ain Ni Ain.
Latuapo menandaskan, pada hakikatnya, seluruh umat manusia tanpa pandang bulu adalah satu keluarga. Kita di ciptakan dari tanah, kita semua bersaudara, sekalipun Agama yang kita anut berbeda, namun semua berasal dari Nabi Adam Alaihi Salam.
” Dasar inilah yang kita inginkan di maknai oleh umat manusia, untuk kita membangun kehidupan dalam kebersamaan, di mana saja kita berada. Karena hakikatnya, manusia diciptakan dari tanah. Berbeda dalam keyakinan dan perbedaan yang lain, masing-masing kita akan bertanggungjawab kepada Allah, Tuhan yang maha kuasa,” ungkap Latuapo.
Latuapo, pada kesempatan itu juga membacakan firman Allah dalam Al-Qur’an yang artinya, Agama Islam sendiri telah mengajarkan, cintailah orang lain tanpa pandang bulu, sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri, barulah engkau menjadi orang muslim yang baik. Jadi janganlah bertikai atapun saling menyakiti,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Klasis Gereja Protestan Maluku (GPM), Wilayah Kecamatan Kei Besar Pdt. Elly Belwawin menuturkan, hari ini kita semua berkumpul disini adalah untuk mencari dan menemukan persaudaraan dan kedamaian. Oleh karena itu, marilah kita menjaga tanah Evav ini, menjaga nilai luhur yang telah diturunkan oleh para leluhur kita, yakni “Ain Ni Ain” (kita adalah satu keluarga) dan juga perlu menjaga kedamaian yang diajarkan semua Agama.
” Semua agama dalam kitab sucinya mengajarkan tentang cinta kasih, hidup rukun dan damai. Dan di dalam hidup rukun dan damai itulah, ada berkat yang melimpah atas seluruh kehidupan manusia. Mari hargai dan jaga persaudaraan, kebersamaan dan toleransi, sebagaimana yang telah diwarisi oleh para leluhur kita dan ajaran agama kita masing-masing,” ajaknya.
Rat Ursiw -Lorlim, melalui Sekretaris Dewan Adat Kepulauan Kei Patrisius Renwarin menjelaskan, tentang ritual adat yang dilaksanakan. Menurut Renwarin, pemasangan Sasi “Hawear Balwirin” yang bertikai atau siapa saja yang hidup di wilayah ini, tidak lagi melakukan pertikaian.
” Kita semua adalah orang Kei, jangan lagi bertanya pemasangan Hawear ini karena ini adalah tanda larangan adat untuk menghentikan pertikaian, maka mari kita cintai tanah ini dengan menghargai adat dan istiadat kita yang menjunjung tinggi kebersamaan dan persaudaraan dalam bingkai Ain Ni Ain,” tegasnya. (Soeat)
