TUAL,MALUKU – Saudah Tuankotta/ Tethool, selaku Ketua Komisi II DPRD Maluku, dengan nada keras ancam usir keberadaan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) di Kepulauan Kei dan Maluku umumnya.
Ketegasan ini disampaikan Saudah, disela-sela Rapat Koordinasi Komisi II DPRD Maluku, bersama mitra OPD di Aula Kantor Wali Kota Tual, di Tual , Senin (17/02/2020), dalam rangkaian agenda pengawasan Komisi II di daerah berjuluk Maren tersebut.
” BPDASHL selama ini, itu belum tersentuh oleh Komisi II. Saya sudah bertekad akan panggil mereka. Mau panggil tetapi bertepatan dengan pengawasan, maka kami menunda. Sekembalinya kami dari pengawasan, kami akan memanggil BPDASHL dan bila perlu kami putuskan untuk keluar dari Maluku, kalau tidak mau kerjasama dengan kami disini. Ini wilayah kami punya. Seluruh anggaran Saya harus katakan, realisasi lapangan tidak pernah seorang pun yang tahu itu,” tegasnya.
Dirinya menilai, patut dipertanyakan program sekian miliar itu, ada dimana, lokasi dimana, letaknya pun dimana. Kalau tidak angkat kaki atau kami bawa keberadaan mereka ke Kejaksaan agar memanggil mereka.
Sementara itu, Frans Matwear, salah satu Staf KPH Kota Tual mengakui, kegiatan RPHL itu tidak dikoordinasikan dengan kita di KPH.
” Ditemukan ketika, tim dari KPH melakukan patroli ke kecamatan Tayando dan Pulau-Pulau Kur. Ternyata ada permasalahn disana dan permasalahan di Camat itu, memberikan respon negatif terhadap kita di petugas kehutanan. Karena asumsi masyarakat, itu kegiatan kehutanan. Tidak tahu BPDASHL pelaksana atau institusi mana, di kehutanan. Jadi responnya sangat negatif,” sebut Frans.
Menurutnya, kami harapkan adalah, kehutanan di tingkat apapun, harus dikoordinasikan, substansinya. Sebab, ada juga kejadian di Desa Taar, pembentukan kelembagaannya tidak dikoordinasikan baik di awal, terjadi overlap seakan-akan ada 2 kelompok terbentuk disana. Masyarakat datang, mempersoalkan kita di kantor KPH, baru kita tahu ini ada kelompok lain dibentuk oleh KPH BPDASHL melalui kita.
” Jadi, fungsi koordinasi ini yang sama sekali tidak jalan dalam kehutanan provinsi, dalam hal ini UPTD yang ada disini, KPH Kota Tual,” ujarnya.
Lebih lanjut kata dia, kelembagaan KPH Kota Tual belum defenitif.
Dirinya menerangkan, potensi hutan di kota Tual berdasarkan SK Menteri KLH 10.000 hektar lebih, yang terbagi atas fungsi hutan lindung, fungsi hutan produksi terbatas dan hutan konversi.
Dari kondisi yang ada, akuinya, dibutuhkan sarana dan prasarana kebakaran hutan karena, pada musim-musim tertentu terjadi kebakaran hutan dan lahan, membuat kita membutuhkan sarana taktis yang cukup memadai untuk melakukan tugas-tugas kelembagaan .
Jelasnya, sejak pengalihan kehutanan secara efektif 1 Januari 2017, aset hutan kota dari pemerintah kota Tual ke provinsi, seluas 6 hektar. Kendati demikian, persoalan serius terkait aset, yaitu tentang legalisasi aset serta pengembangan aset.
” Legalisasi 6 hektar itu belum memiliki sertifikat. Kita baru mengupayakan keterangan kepala desa untuk memberikan status hutan kota itu, telah milik pemerintah provinsi Maluku,” tambahnya.
Selain Ketua Komisi, rapat tersebut dihadiri oleh Richard Rahakbauw yang menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Maluku, bertindak sebagai Koordinator Pengawas Komisi II dan Aziz Hentihu, Anggota Komisi.
Sedangkan, anggota Komisi yang lain, juga dalam agenda pengawasan, namun terbagi kelompok melihat langsung realisasi APBD Provinsi dan APBN di seputaran Kota Tual dan Maluku Tenggara.
Dari pihak Pemkot Tual, diwakili oleh Asisten Walikota Tual dan pimpinan OPD yang menjadi mitra Komisi II. (IN06)
