Ekonomi

Menjawab Krisis Pangan, Sagu Bisa Menjadi Solusi

AMBON,MALUKU  – Gubernur Maluku Said Assagaff menuturkan,tanpa sadar terjadi semacam Genosida (pemusnahan terhadap pangan lokal) seperti sagu, umbi-umbian dan jagung dan yang lainnya selama berabad-abad ,menjadi pangan masyarakat Indonesia di pelbagai daerah. Sebagai contoh, orang Maluku makan hari-hari harus ada sagu lempeng, sinoli atau papeda. Beras hanya menjadi makanan tambahan pada hari Jumat dan Minggu, maka pada saat ini makanan sehari-hari kita adalah beras  dan sagu hanya pada hari-hari tertentu saja, khususnya hari Jumat atau hari Minggu.

“Atas kondisi yang ada, menghadapi ketahanan pangan di Indonesia sedang menghadapi masalah krusial, maka sagu bisa menjadi solusi alternatif bagi ketahanan pangan nasional, khususnya di daerah-daerah endemik seperti Maluku, Papua. Apalagi kandungan karbohidratnya sangat banyak dan relatif sangat baik untuk kesehatan, jika dibandingkan dengan beras yang resisten penderita Diabetes. Untuk itu, sagu bisa  menjadi solusi ,dalam menjawab krisis pangan yang sementara terjadi pada  dua dekade ini,”ujar Gubernur dalam sambutannya,Rabu (28/11/2018), pada Seminar Internasional Sagu, yang berlangsung di Auditorium Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Gubernur, pada beberapa hasil penelitian menyebutkan, saat ini luas hutan sagu di Maluku mencapai 60.000 hektar.Jika ditambah dengan luas hutan sagu nasional maka diperkirakan mencapai 5,6 juta hektar di seluruh Indonesia.

Selain itu,jika produktivitas perkebunan sagu 30 ton per hektar  maka 5,6 juta hektar sagu itu, bisa menyumbang karbohidrat untuk 933 juta orang per tahun. Apalagi, menurutnya, sagu memiliki daya tahan terhadap lingkungan dan perubahan iklim, termasuk bisa tumbuh di lahan bergambut, sehingga dapat dengan mudah dikembangkan.

47015405_2195848260687368_1651326152632958976_n

Namun masalahnya, ungkap orang nomor satu di bumi raja-raja ini, sebagian besar  tanaman sagu saat ini, masih dikelola dalam bentuk hutan sagu dengan produktifitas kurang dari 10 ton per hektar. Bahkan, lahan sagu semakin berkurang karena, banyak yang dikonversi menjadi kawasan pemukiman, jalan, perkantoran sagu atau menjadi lahan untuk tanaman pangan, holtikultural dan perkebunan.

“Kami juga mencermati bahwa tanaman sagu mulai kurang diperhatikan, tidak terurus, bahkan banyak pangan sagu yang siap panen di hutan, tidak dipanen pada waktunya. Bagi kami masyarakat Maluku, pohon sagu bukan sekedar tumbuhan endemik Maluku, yang telah menyediakan pasokan pangan alami bagi rakyat Maluku selama beberapa abad. Namun lebih dari itu, sagu juga sudah menjadi icon budaya, bahkan merepresentasikan falsafah hidup dan kearifan lokal orang Maluku,”cetusnya.

Gubernur ungkapkan, orang Maluku sering mengatakan sagu adalah, lambang persaudaraan tradisional dengan pernyataan “hidup orang basudara, potong di kuku rasa di daging, ale rasa beta rasa, dan sagu salempeng dibagi dua”.

Dalam konteks ini, jelasnya, pemerintah provinsi Maluku terus berkomitmen untuk mendukung pengembangan sagu, sebagai sumber pangan tradisional di Maluku. Oleh karena itu, dirinya memandang seminar internasional tentang sagu yang dilaksanakan ini, sangatlah penting dan strategis.

“Saya berharap seminar ini bisa menghasilkan perspektif, inovasi dan teknologi baru yang dapat mendukung pengembangan sagu di Maluku ,secara berkelanjutan untuk ketahanan pangan dan pembangunan lingkungan . Sehingga, pemerintah daerah bisa menyusun kembali blue print pengemabngan pangan serta, kemungkinan hilirisasi komoditas sagu, khsususnya di wilayah-wilayah kepulauan Maluku sebagai basis kedaulatan pangan, kelestarian lingkungan dan bahan baku industri di masa depan,”ajaknya sembari berharap

Seminar tersebut,selain ratusan mahasiswa,turut dihadiri oleh Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Michael Wattimena,Rektor Universitas Pattimura M.J.Saptenno serta Wakil  Rektor dan para Dekan beberapa fakultas pada universitas Pattimura,mantan Pangdam XVI Pattimura Dony Munardo juga tamu dari negara luar pun turut hadir  .Adapun seminar  tentang sagu ini,di bawah sorotan tema “Sago For Food Security And Environmental Sustainability ”.

Sekedar tahu,pelbagai fenomena krisis pangan global dewasa ini, bukan hanya terjadi pada negara-negara yang hanya punya satu komoditas pangan, namun hal tersebut juga terjadi di Indonesia. Dimana dalam dua dekade terakhir, ketahanan pangan di Indonesia sedang menghadapi masalah krusial karena beberapa factor.Antara lain, terjadinya perubahan iklim global yang disertai dengan meningkatnya penyebaran hama yang mengakibatkan tingginya biaya produksi beras, makin menyempitnya lahan  dan semakin berkurangnya sumber air yang sangat dibutuhkan, oleh tanaman padi.

Maka tak mengherankan, ketergantungan kepada beras saat ini membuat harga beras melambung tinggi dan terpaksa kita harus mengimpor beras dari luar negeri. Hal ini tak lain karena, adanya unifikasi atau penyeragaman pangan yang dilakukan pemerintah pada masa lalu, yang menyeragamkan beras atau nasi sebagai pangan nasional atau makanan pokok orang Indonesia yang secara sistematis dilakukan. (IN06)

Print Friendly, PDF & Email
Comments
To Top