Oleh :
Febiana Maria Ratumasa, S.H., M.Kn.
ASPEK perlindungan hukum terhadap Pengelolaan hak ulayat perikanan laut di kepulauan lease Maluku harus menjamin kehidupan masyarakat hukum adat Negeri Paperu Kecamatan Paperu, Kabupaten Maluku tengah, Provinsi Maluku. Mengingat bahwa wewenang dalam pengelolaan hak ulayat perikanan laut ini bentuknya atributif. Maka pemerintah daerah harus menyelaraskan kewenangannya dengan keberadaan serta hak dan wewenang masyarakat hukum adat karena wewenang mereka yakni wewenang hak asal usul berupa hak-hak tradisionalnya (dalam penangkapan ikan menggunakan alat-alat tradisional), pengaturan terhadap desa adat maupun melestarikan adat-istiadat, lembaga dan kearifan lokal (pemberlakuan sasi), serta menyelesaikan sengketa dengan mekanisme adat yang dianut. Perlindungan terhadap mereka dari pihak ketiga yang merugikan hak-haknya dalam pengelolaan hak ulayat perikanan laut terkait dengan pemberian izin dan pengawasan tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya.
Sasi sebagai bentuk kearifan lokal yang menjadi tujuan perlindungan terhadap pengelolaan hak ulayat perikanan laut ini, secara yuridis dinyatakan di dalam Peraturan Daerah Provinsi Maluku No 3 Tahun 2008 tentang wilayah petuanan yang konsep penerapannya menekankan tentang perlindungan terhadap kegiatan-kegiatan masyarakat pada wilayah petuanan mereka yang dilakukan oleh lembaga-lembaga adat serta mempertahankan wewenang hak asal usul sebagai wujud dari perlindungan hukum terhadap hak dan wewenang mereka. Namun wilayah petuanan mereka yang merupakan wewenang hak asal usul yang telah diakomodir di dalam Peraturan perundang-undangan meskipun secara eksplisit tidak menyebutkan secara jelas namun kearifan lokal terhadap hak ulayat perikanan laut masyarakat hukum adat Pulau Lease Kepulauan Maluku tetap ada dan diakui. Kearifan lokal dalam bentuk sasi ini juga senantiasa memberikan manfaat untuk melestarikan, mengelola sumber daya alam laut dan pesisir untuk kehidupan masyarakat hukum adat yang berkelanjutan.
Pasal 33 ayat (3) menggariskan kebijakan dasar mengenai penguasaan dan penggunaan sumber-sumber daya alam yang ada, bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam batang tubuh UUD RI 1945 sendiri tidak terdapat penjelasan mengenai sifat dan lingkup Hak Menguasai dari Negara tersebut. Dalam penjelasan ayat (3) pasal tersebut hanya dinyatakan, bahwa: “Bumi, dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalam bumi, adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Oleh sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Hal ini termuat di dalam Penjelasan otentik tentang pengertian bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (disebut sumber daya alarn selanjutnya disingkat SDA) dikuasai oleh negara, dimana termuat juga di dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang “Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria” atau lebih terkenal dengan nama “Undang-Undang Pokok Agraria” (selanjutnya disingkat UUPA mulai berlaku pada tanggal 24 September 1960). Pasal 2 UUPA yang merupakan aturan pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD, menjelaskan pengertian hak menguasai SDA oleh negara. Sesuai dengan Penjelasan Umum II/2 UUPA, perkataan “dikuasai” dalam pasal ini bukanlah berarti “dimiliki”, akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia itu, untuk pada tingkatan yang tertinggi :
- Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya;
- Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu;
- Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
- Segala sesuatu dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
Dengan demikian, menurut konsep UUPA, pengertian “dikuasai” oleh negara bukan berarti “dimiliki”, melainkan hak yang memberi wewenang kepada negara untuk mengatur 3 hal tersebut di atas.
Kewenangan pemerintah dalam penataan ruang sangat penting disini, mengingat bahwa ada kepentingan masyarakat hukum adat yang harus mendapat pengakuan dalam mengelola sumber daya alamnya sendiri. Pasal 1 angka 5 Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (selanjutnya disebut UU 26/2007), menyatakan bahwa penataan ruang merupakan sistim proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pengaturan tentang tata ruang ini, memberikan kewenangan terhadap pemerintah untuk mengelola, mengawasi dan memberikan pembinaan. Namun kenyataan yang terjadi bahwa kewenangan pemerintah tersebut tidak memberikan manfaat kepada masyarakat hukum adat sebagai pihak yang dihormati hak-haknya.
Hal ini dapat dilihat pada kasus yang terjadi di negeri Paperu, Kecamatan Paperu, Kabupaten Maluku tengah, Provinsi Maluku, bahwa hak-hak pengelolaan oleh masyarakat hukum adat menjadi tidak berjalan, di dalam kontrak yang disepakati oleh kedua belah pihak dalam hal ini masyarakat hukum adat dan pihak swasta tersebut untuk mengelola wilayah daratan, tetapi pada kenyataannya pihak ketiga ini tidak menjalankan kontrak itu dengan semestinya, dimana kontrak tersebut hanya menyebutkan wilayah daratan saja yang disewakan, tetapi hal ini telah meluas ke wilayah pesisir dan laut. Izin pengelolaan yang diberikan oleh pemerintah yang seharusnya tidak mengabaikan keadaan dan kondisi masyarakat adat, dimana wilayahnya adalah merupakan pemenuhan terhadap kelangsungan hidup dan kesejahteraan mereka, tetapi pada kenyataannya pemerintah tidak menerapkan hal-hal prinsip dalam izin pengelolaan. Maka konsep pengelolaan harus diterapkan sesuai dengan tujuan penguasaan negara dalam hal ini termuat di dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (selanjutnya disebut dengan UU 27/2007), bahwa perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang, untuk mengatur dan mencegah segala bentuk tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan masyarakat hukum adat tidak memiliki kesempatan atau kehilangan haknya untuk menikmati kekayaan alam.
Sehingga untuk menghindari adanya upaya untuk pengkaplingan wilayah laut dan pesisir oleh pihak-pihak tertentu, maka pemerintah harus mengkaji dengan baik adanya penguasaan wilayah laut secara sepihak dan hal-hal lain dalam hal ini pengkaplingan wilayah tersebut. Keberadaan hak ulayat disini meskipun dalam kaitannya dengan hak ulayat perikanan laut, namun perlu diketahui bahwa porsi yang dimiliki hanya sedikit, meskipun demikian tidak mengurangi peran pemerintah atau penguasa sangat menentukan untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam bidang perikanan, khususnya hukum adat yang berlaku di masyarakat Pulau Lease Maluku. Faktanya bahwa peran pemerintah dalam hal ini tidak memperhatikan keadaan masyarakat hukum adat yang pelaksanaan kearifan lokalnya tidak dijalankan sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan adat negeri paperu kepulauan lease Maluku yakni Sasi. Sebagaimana diketahui akibat dari keberadaan dan larangan yang dilakukan oleh PT Diving & Tourism terhadap masyarakat hukum adat yang mendiami wilayah pesisir.
Hal inilah yang memberikan perubahan terhadap kondisi teritorial masyarakat hukum adat di negeri paperu, oleh karenanya yang menjadi indikator adanya penerapan tersebut diatas tersebut yang harus dimaknai oleh pemerintah daerah sebagai organ pemerintahan yang mengawasi dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan . Sehingga prinsip mendahulukan kepentingan nasional dan Negara dapat diartikan bahwa segala kebijaksanaan di bidang perikanan laut tidak boleh dibiarkan merugikan kepentingan masyarakat hukum adat. Laut tidak diperkenankan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau kelompok, kegunaannya harus disesuaikan dengan keadaanya dan sifat dari haknya sehingga bermanfaat, baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai, serta baik dan bermanfaat untuk masyarakat dan kepentingan negara.
Dengan demikian bahwa pentingnya suatu perlindungan hukum bagi masyarakat adat dengan hak-haknya wajib diakomodir di dalam peraturan daerah secara terperinci dan aspek-aspek perlindungan hukum yang nantinya dapat dilihat oleh pemerintah daerah sebagai upaya yang dapat melindungi keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya.
