Oleh : Maiton Gurik
Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta
BANYAK sikap sinis dan ungkapan buruk ditunjukan orang kepada politisi dewasa ini, ragam sebabnya beraneka, mulai dari watak buruk kekuasaan, dan laku dalam bahasa kuasa yang vulgar karena lebih dominan mengejar pencitraan semata ketimbang prestasi kerja yang mensejahterakan rakyat. Sementara disisi yang lain politik begitu menarik dan seksi dimata para penggila kekuasaan, sebab hanya dengan menjadi penguasa segala kemungkinan untuk mengaktualisasikan gagasan pembangunan dapat wujudkan secara real. Bukan hanya sekerdar teori an sich yang tidak memiliki ruang aplikatif yang memadai sebab tak ditopang oleh struktur kekuasaan.
Dua sisi, antara citra politisi yang buruk dan godaan kuasa yang begitu menarik, telah menimbulkan kegamangan politik pada diri sebagian peminat politik kekuasaan, antara maju ditengah citra buruk politisi untuk membuktikan diri atau mengurungkan niat untuk ikut dalam sebuah kontestasi politik meskipun begitu menggoda atau kalaupun bagi mereka yang telah berada diatas tahta kuasa menjadi pesimis lalu surut dari barisan dan menjadi pecundang amanat rakyat. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi setiap mereka yang memutuskan diri menjadi politisi.
Karena hanya mereka yang benar-benar siap, dapat secara jantan berkata “saya ada disini dan siap untuk menerima godaan kuasa itu, apapun konseksinya, negatif atau positif, menjadi sang penyelemat atau penyesat. Karena kekuasaan adalah ruang pengabdian kepada rakyat yang saya rindukan”. Karena hanya dengan jalur kekuasaan pengabdian diri sebagai makhluk Tuhan yang dianugerahi kuasa kepemimpinan, manusia dapat membangun peradaban dunia yang jauh lebih baik. Optimisme ini cukup beralasan karena tidak terlepas dari berbagai fasilitas yang bisa diperoleh seorang politisi ketika berkuasa, antara lain kekuasaan dan peneguhan diri. Fasilitas itu juga yang bisa membuat politisi betah mendekatkan diri dalam kehidupan politik dan tetap bertahan disana walau tetap berhasil melakukan berbagai pencapaian.
Filsuf politik dari abad ke -17 Thomas Hobbes (1974-160-161) bahkan telah menjelaskan fakta ini dengan mengatakan bahwa “bukan sekedar fasilitas-fasilitas itu yang membuat politisi betah bertahan dalam jagat politik. Yang utama menurut Hobbes, adalah “hasrat mengejar kekuasaan demi kekuasaan, yang memang merupakan dorongan manusia yang paling dasar dan dilakukan tanpa kenal menyerah. Setelah itu semua tercapai, semua hastrat lain akan mengikuti satu demi satu, hastrat sensual, hastrat terkenal, hastrat dipuja, hasrat kesempurnaan, atau dalam diri sedikit orang termasuk juga hasrat berpikir.”
Dalam hal ini, didunia politik itu ada hitam dan putih bahkan abu-abu sekalipun. Untuk menolak berbagai godaan politik memang tidak mudah di telapak tangan dan tak serta-merta atau langsung. Kita harus bisa bermain, antara hitam dan putih bukan abu-abu, yang artinya ketika godaan politik itu datang kita harus siap berkata “tidak” dan sebaliknya kita harus siap berkata “iya”. Sebab, godaan kuasa itu ada dan akan ada sebagaimana ada saat ini.
Konteks lain, para politisi selalu punya energi untuk mengatakan bahwa hal yang diperjuangkan adalah kebaikan rakyat. Mereka selalu punya kemampuan untuk mengatakan bahwa dirinya adalah pejuang. Mereka memiliki kekuatan untuk mengatakan sesuatu yang sama sekali lain dengan apa yang dipikirkannya. Mereka terlatih membedakan dengan mana yang “harus dikatakan” dengan mana yang “harus dirasakan”.
Hal yang serupa adalah bahasa politisi dalam komunikasi politik sebagai aktivitas komunikasi. Komunikasi merupakan suatu proses pembentukan makna terhadap pesan-pesan tertentu yang bisa disampaikan orang lain. Kesuksesan komunikasi sangat tergantung pada proses komunikasi atas pesan yang diterima dari komunikator. Dengan itu, para politisi bertahkta diatas godaan politik bisa bersikap optimis – walau begitu banyak godaan yang datang menghampiri, apa lagi ketika sedang menempati jabatan kenegaraan. Pada giliranya, godaan bisa dilumpuhkan kesadaran dan membuat seorang politisi abai terhadap tugas utamanya dalam kekuasaan politik. Begitu Semoga!! (**)
