Hampir sama seperti tokoh-tokoh lainnya, Tan Malaka adalah sosok pahlawan kesepian hingga di akhir hayatnya. Ia terus berjuang merealisasikan mimpi-mimpi kemerdekaan Indonesia yang ada di benaknya. Sebelum pembentukan konsep Indonesia, ia justru jauh lebih dulu memiliki ide republik ini yang pernah ia tawarkan dalam bukunya ‘Naar de Republiek Indonesia’.
Seorang yang sangat cerdas dan idealis, namun mampu begerak menuntaskan idealismenya hingga wilayah praksis. Majalah Tempo Khusus Kemerdekaan cukup gamblang menceritakan tentang Tan Malaka dari berbagai sudut pandang. Baik menurut beberapa tokoh, saksi-saksi, maupun berdasarkan beberapa buku yang ditulisnya ; Madilog, Gerpolek, Dari Penjara ke Penjara, Actie Massa, Menuju Indonesia Merdeka, dll. Terutama penjelasan dari Harry A. Poeze yang sejak tahun ‘70an telah secara fokus menelitinya. Semuanya dibahas sejak ia lahir hingga tewas pada agresi pada tahun 1949.
Semangat dan impian Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka untuk menciptakan Indonesia seratus persen, bermartabat, dan bukan karena pemberian hadiah dari Belanda, telah membawa ia pada pengembaraan panjang. Dengan kecerdikannya ia dapat luntang-lantung ke berbagai negara belahan dunia; Harleem (Belanda), Berlin, Moskow, Kanton (Cina), Rusia, Singapura,Filipina, Thailand, Burma, Malaysia, Hongkong, Amoy, dll dengan berganti-ganti nama dan bermacam profesi dalam masa penyamarannya. Entah beberapa kali pula ia ditangkap dan diasingkan, namun tekadnya tak pernah surut selangkahpun. Perjuangan telah membuatnya menjadi seseorang yang dikatakan “tak normal”. Dalam artian, jauh dari keluarga, kehidupan yang tak layak, dan bahkan dalam urusan cinta. Tapi kehilangan segala yang harus dimilikinya tak menjadi soal baginya. Segalanya terkalahkan oleh aktifitasnya untuk untuk memperjuangkan tanah air.
Hal yang menjadikan ia berbeda dengan tokoh-tokoh lain sezamannya adalah sikap teguh pendirian dalam memegang prinsip. Bila Sutan Syahrir memilih jalan diplomasi, atau Soekarno-Hatta yang bersikap lunak terhadap Belanda, maka ia bersama jendral Soedirman lebih memilih jalan revolusi secara radikal dengan melakukan perlawanan gerilya, nasionalisasi aset dan pengambilalihan kekuasaan Belanda. Baginya tak ada kompromi dalam hal kemerdekaan. Ia menganalogikan bahwa tak akan ada tuan rumah yang mau berunding dengan maling di rumah sendiri.
Keteguhan ini pula yang akhirnya membuat ia keluar dari jabatan pemimpin Komintern se Asia Pasifik serta Partai Komunis Indonesia karena menganggap organisasi dan partai tersebut tak sejalan lagi dengan apa yang diharapkannya, khususnya ketika ia memutuskan untuk bekerja sama dengan Serikat Islam, mendukung Pan-Islamisme. Sepeninggalnya dari dua organisasi tersebut, lalu ia membuat PARI (partai Republik Indonesia), serta Partai Murba yang menjadi kelanjutannya setelah PARI mati.
Banyak mozaik sejarah hidupnya yang membuat terharu. Misal, ketika di Bayah, ia melamar bekerja sebagai kerani yang tak hanya menjalankan tugas menjadi juru tulis di perusahaan, namun ia juga mempengaruhi pihak perusahaan untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan romusha. Ia kerap membelikan makanan kepada romusha dengan gajinya sendiri.
Selain itu, ketika di Yogyakarta pun ia pernah mendirikan sekolah rakyat bagi pemimpin revolusioner dengan tujuan mendidik pribumi yang sering dibodohi oleh penjajah dengan kontrak-kontrak kerja yang tak dipahami. Sayang, ketika sekolah itu berkembang dan diikuti oleh beberapa daerah di Jawa, Tan tak dapat menyaksikannya karena harus kembali malang melintang melanjutkan misinya. Begitu juga dengan kemerdekaan negara republik Indonesia yang telah lama ia konsepkan, namun ironis, ketika proklamasi ia tidak ikut campur serta menyaksikannya karena tidak mengetahui. Apalagi soal cinta? Jangan ditanya. Ia selalu ditolak oleh pujaan hatinya, Syarifah Nawawi, karena dianggap orang yang aneh. Hingga tamat riwayat pun ia tetap menjadi lelaki yang sendirian.
Sesuatu yang dapat digarisbawahi dari seorang Tan Malaka adalah bahwa seorang pejuang tak hanya mampu berpikir orisinil. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana ide-ide orisinil tersebut dapat dipertahankan. Perkara mempertahankan idealisme bukanlah hal yang gampang, apalagi mewujudkannya. Sejarah telah membuktikannya. Betapa banyak aktivis mahasiswa yang akhirnya mundur atau menghianati perjuangannya ketika berhadapan dengan kemapanan. Jangankan berbicara tentang masa depan, masa sekarangpun yang seharusnya diwarnai dengan aksi-aksi heroik layaknya Tan Malaka ketika dulu belum mampu untuk dijejaki. Mungkin memang benar apa yang dikatakan Deliar Noer dalam biografi Mohammad Hatta bahwa faktor yang sangat mempengaruhi karakter pemuda-pemuda pada zaman pra kemerdekaan adalah salah satunya gejolak situasi politik dan ekonomi, ketertindasan, penjajahan yang secara langsung dirasakan. (**)
Sumber : Kompasiana
