AMBON, MALUKU – Gubernur Maluku Said Assagaff menyebut perjuangan jujaro kabaresi Martha Christina Tijahahu atau dikenal dengan sebutan Ina Ata, merupakan suatu gerakan protest terhadap ketidakadilan dalam dimensi yang luas, tidak sekedar ketidakadilan gender dalam arti tertentu.
“Ia didorong oleh hatinya yang berteriak karena derita rakyat dalam dimensi yang utuh. Ia solider dan mengambil prakarsa untuk menghadirkan dirinya sendiri ke dalam gerakan perjuangan yang besar dan mulia,” ujar Gubernur.
Pernyataan Assagaff ini, disampaikannya dalam sambutan tertulis yang dibacakan Staf Ahli Gubernur Maluku Bidang Pembangunan, Ekonomi dan Keuangan Ronny Sam Wolter Tairas, sesaat sebelum membuka Talk Show Menyongsong 2 Abad Perjuangan Martha Christina Tijahahu (Ina Ata), bertempat di Lantai 7 Kantor Gubernur Maluku, Ambon, Kamis (27/7/2017).
Talk show dengan tema “Menggali dan mengkaji nilal-nilai perjuangan Martha christina Tijahahu” ini menghadirkan pengagum Martha Christina Tijahahu, Joan Raturandang Leleury, Ketua Kaukus Perempuan Politik Maluku, Olivia Latuconsina, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Maluku, Maggie Samson, serta anggota DPD RI asal Maluku Novita Anakotta.
Lebih lanjut Assagaff katakan, Dewasa ini, masyarakat memerlukan perspektif dan dorongan seperti itu. Perjuangan keadilan, termasuk keadilan gender harus pertama-tama didorong oleh solidaritas dan kepekaan diri yang kuat akan realitas ketidakadilan secara komprehensif.
Di situ, nilai kejuangan Martha Christina Tijahahu, menjadi bagian dari perjuangan yang universal.
“Saya minta maaf, sebab saya tidak mau menyebut perjuangan itu sebagai tonggak pergerakan perempuan Maluku. Walau saya sadari bahwa kaum perempuan Maluku ingin dan harus mendapati suatu spirit dan tokoh historik yang bisa dijadikan model,” tuturnya.
Menurut Assagaff, dirinya hanya tidak mau kita membatasi perjuangan Martha Christina Tijahahu itu sesempit kita mendiskusikan soal-soal perempuan.
“Karena saya juga berharap bahwa kesetaraan dan keadilan gender harus dilihat kini bukan lagi pada ranah-ranah tradisional seperti patriakhal yang arogan, atau stereotype dan stigma-stigma sosial terhadap perempuan,” bebernya.
Mengambil inspirasi dari Martha Christina Tijahahu, Assagaff menegaskan, perjuangannya adalah suatu gerakan protes sosial-politik yang sangat mendasar.
Dikatakannya, jujaro Kabaresi itu, melawan tirani terhadap kemanusiaan yang utuh. Ia melibatkan diri dalam gerakan perjuangan politik untuk sebuah harga kebebasan dan kedaulatan sipil.
“Ia juga menjadikan dirinya bagian di dalam revolusi ekonomi untuk menegaskan bahwa saatnya rakyat sejahtera dengan mengelolah potensi sumber kekayaan alamnya sendiri, secara tangguh dan berdaya saing,” terang Assagaff.
Martha Christina Tijahahu, disebutnya juga, melawan monopoli, sebab itu tidak sesuai dengan nilai masohi dan badati. Dua nilai budaya yang turut terkandung dalam nilai ekonomi Pancasila di era Indonesia merdeka ini.
“Ia menjadikan dirinya suatu tanda kebanggaan tentang jati diri orang lokal di pentas global. Bahwa kita akan bangkit dari cara kita mengelolah potensi sumber daya manusia kita sendiri,” tegas Assagaff.
Sekadar mengingatkan, Assagaff katakan, kita adalah generasi yang mewarisi narasi kejuangan para pahlawan.
Menurutnya, mungkin kita tahu alasan para pahlawan itu “angkat tombak”, parang dan salawaku. Tetapi kita tidak ada di dalam suasana kebatinan mereka. Tidak juga ada dalam situasi kelam pekat di saat mereka harus berjuang.
Sebab itu, lanjut Assagaff, narasi kejuangan para pahlawan, tidak boleh membuat kita terjebak dalam perang tafsir atau kecurigaan penafsiran, bahkan kesesatan tafsir.
“Maka salah jika tafsir narasi itu, dibuat semata-mata untuk memperkuat hegemoni suatu kelompok tertentu,” tandasnya.
Sebab itu, disebut Assagaff, berarti menistai nilai kemanusiaan, keadilan dan kebebasan, sebagai nimak universal di dalam perjuangan para pahlawan.
Untuk itu, Assagaff mengajak masyarakat Maluku merenungan perjuangan Martha Christina Tijahahu. Renungan ke dalam hidup dan jiwa perempuan kabaresi dari Nusahalawano.
“Termasuk renungan seorang jujaro, yang bukan hanya melawan penjajah, tetapi juga melawan budaya patriakhak dan stereotype sosial, yang memosisikan perempuan di ruang-ruang yang privat, seperti di muka tungku, lomi sagu mantah, tuang papeda, tanpa harus sibuk dengan huru hara di luar rumah,” paparnya. (IN-06)
