Oleh: Maiton Gurik, S.I.Kom
(Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik Univ.Nasional Jakarta)
S ejak masa reformasi banyak orang terutama generasi muda yang salah sangka mengenai relevansi pancasila dimasa kini, kemarin dan apa lagi mendatang. Anggapan demikian jelas keliru. Yang banyak di keluhkan masa lalu adalah tindakan penyalahgunaan pancasila itu untuk kepentingan kekuasaan semata, bukan eksistensi pancasila itu sendiri sebagai warisan filsafat hidup dan cermin impian bersama bagi seluruh anak bangsa tentang hidup bernegara dan berbangsa yang kita idealkan bersama.
Jadi, apakah idealisme yang terkait dengan hastrat reformasi harus selalu menghadapi kenyataan yang serba ironis? Ketika hasrat reformasi dalam berbagai aspek kehidupan bangsa sedang menaik, mengapakah ketika itu pula kegalauan dalam pemikiran kenegaraan dan pola perilaku sosial tidak terhindarkan? Kesemuanya terjadi seakan-akan eksistensi negara-bangsa ini tanpa dilandasi perenungan ideologis yang mulia dan jelas. Bahkan sebagian pertanyaan banyak pihak tentang Indonesia yang ideal ternyata telah dibicarakan dengan matang oleh pendiri bangsa jauh sebelum pernyataan Indonesia itu merdeka.
Jika hari ini pancasila itu dipersoalkan, itu hal yang wajar dan rasional, sehingga dia tidak hanya menjadi sebuah cacatan ideologi “semu”, (yang tidak berfaedah bagi negara yang berwatak pluralis ini). Artinya, yang di maksud “harus dipersoalkan” disini bukan harus menggantikan dari ideologi yang ada, yang seperti kini sedang diperdebatkan oleh publik diberbagai media masa, elektronik bahkan negara pun ikut galau atas persoalan dasar negara ini.
Gerakan kelompok radikal dari berbagai ormas pun tidak sepi. Terutama ormas sejenis HTI (yang sedang kini diancam oleh negara karena berbeda paham tentang ideologi), FPI atau gerakan kelompok lainnya yang bisa kita lihat seperti peristiwa bom di Samarinda, Terminal Kampung Melayu Jakarta Timur Bali atau Sarinah, Jakarta Pusat bahkan pilkada DKI Jakarta lalu juga ikut dipersoalkan terkait perbedaan suku, agama, ras dan etnis (SARA), yang sesungguhnya tidak perlu diperdebatkan dalam negara yang majemuk ini.
Dari semua persoalan tersebut, semua orang beramai kembali mempertanyakan dan mempersalahkan negara dan ideologinya, sehingga saya katakan bahwa “Pancasila Kini Sedang Demam”, bahkan tanpa hari kegalauan publik di media masa/sosmed terkait perdebatan ideologi yang disebut “pancasila” ini terus laju dan tak henti.
Dengan perdebatan yang tak habis-habisan ini, kini kita seolah sedang ada dan diperhadapkan dengan situasi dimana (negara sedang mau baru dibentuk atau katakanlah masa transisi), sehingga ideologi yang digagas dan diperdebatkan oleh pendiri bangsa seribu tahun lalu (sebelum kemerdekaan) itu, kini menjadi topik seksi dalam perdebatan keseharian publik dan kelompok pancasialis.
Jadi, sesungguhnya kita ini baru menuju mengagas sebuah negara baru atau memang laku dalam memahami dan memprakteknya pancasila itu seperti ini, sehingga kita terus dipersoalkan dan diperdebatkan ideologi yang sah itu. Kalau seperti itu kita keliru, bukan? Dan jelas kita gagal paham dalam memahami dan mempraktek relevansi dari pada pancasila itu sendiri. Kegagalan paham ini ketika kita terjebak pada sebuah kenalaran pragmatisme semu dalam bernegara.
Oleh karena itu, sesungguhnya secara rasionalitas dan aktualitas pancasila itu mestinya di pahami didalam suatu rentang waktu (bukan lagi harus di persoalkan). Ia bukan sesuatu yang jatuh dari langit? Ia juga tidak perlu berhenti menjadi nilai-nilai yang menuntut kehidupan bersama sebagai bangsa. Karena pancasila mampu mempersatukan bangsa Indonesia yang sangat majemuk ini dapat diverifikasi dan dipertahankan. Ia tidak hanya berhenti pada asumsi, melainkan sungguh-sungguh dapat dibuktikan dalam prakteknya.
Pendek kata, pancasila menyediakan nilai-nilai yang memungkinkan Indonesia bukan saja sebagai sebuah bangsa yang solid dan kokoh, melainkan juga wujud dalam sebuah negara yang paripurna. Sehingga, setiap anak bangsa bukan sekedar kembali kepada nilai-nilai pancasila, tetapi juga terus menerus mengaktualisasikannya didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Begitu Semoga! (**)
