Oleh :
Muhammad Ali Suneth (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)
K
egiatan Penambangan Ilegal Cinnabar di kawasan Hatu Tembaga, Wilayah Masyarakat Hukum Adat Negeri Luhu, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat masih berlangsung sejak Tahun 2012. Kegiatan ini menyimpan berbagai dilema Hukum, sosial dan budaya yang berpotensi mengundang berbagai ancaman.
Masalah penyerobotan lahan tanah milik adat dan kegiatan penambangan liar di Hatu Tembaga, telah mengundang terjadinya konflik horizontal. Tidak sedikit telah menelan korban jiwa. Ketua dan beberapa komisioner KOMNAS HAM, Gubernur Maluku, Kapolda dan Pangdam telah meninjau lokasi tersebut. Namun hingga kini masih berlangsung penambangan liar di Hatu Tembaga.
Pertambangan Ilegal adalah kegiatan penambangan atau penggalian yang dilakukan oleh mayarakat atau perusahaan tanpa memiliki ijin dan tidak menggunakan prinsip-prinsip penambangan yang tidak baik dan benar (Good Mining Practice).
Hal ini terjadi pada Pertambangan Ilegal di Kawasan Hatu Tembaga, Kecamatan Huamual. Pada Umumnya Pertambangan Ilegal di kawasan Hatu Tembaga dilakukan oleh masyarakat dengan peralatan yang sederhana, tidak berizin, tidak berwawasan lingkungan pada keselamatan, serta melibatkan pemodal dan (atau) pedagang. Pelaku pertambangan Ilegal di kawasan itu ialah masyarakat Lokal dan pendatang yang berperan sebagai penambang, pemodal, dan pedagang (melibatkan Oknum aparat dan pemerintah).
Penyebab kegiatan penambangan ilegal yang dilakukan oleh masyarakat Lokal dan pendatang sampai saat ini ialah: Kekurangmampuan pemerintah setempat untuk menyediakan lapangan pekerjaan pengganti, Adanya persepsi bahwa masyarakat yang menambang adalah rakyat yang mencari penghidupan yang harus dilindungi, sehingga berhadapan dengan masyarakat, bagi pemerintah adalah isu yang tidak menguntungkan, Masyarakat penambang merupakan komoditas politik yang potensial untuk mendukung tujuan politik, Merupakan ranah yang sangat menguntungkan bagi oknum-oknum aparat dan pejabat untuk mendapatkan penghasilan dalam waktu singkat.
Saya memahami bahwa keuntungan yang di dapat dalam pertambangan ilegal ini dapat meningkatkan penghasilan masyrakat pertama, yang kedua terciptanya lapangan pekerjaan, dan yang ketiga perekonomian bergerak lebih cepat dari pada biasannya. Akan tetapi kerugian yang didapat akibat pertambangan ilegal jauh lebih besar ketimbang keuntungannya, yakni : 1. pemerintah tidak memperoleh pemasukan, 2. kerusakan lingkungan (pencemaran, degradasi lahan), 3. pemborosan sumber daya tambang, 4. tingginya resiko kecelakaan tambang, 5. bergesernya budaya masyarakat dari produktif ke konsumtif, 6. rentan konflik antara masyrakat lokal dan pendatang, dan yang terakhir menjadi ajang oknum pencari keuntungan.
Kalau kita melihat dari sisi lain, Pertambangan Ilegal ini terjadi akibat faktor regulasi khususnya dalam Undang-Undang No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan peraturan pelaksanaanya. Faktor regulasi ini terjadi akibat adanya norma hukum yang bermasalah dalam pembentukannya sehingga menimbulkan Law Making
Process masalah dalam pelaksanaanya. Faktor regulasi yang menyebabkan terjadinya pertambangan ilegal di kawasan Hatu Tembaga Kecamatan Huamual yaitu: Pertama, norma hukum dalam peraturan pelaksana dari UU No 4 Tahun 2009 yaitu PP No 23 Tahun 2010 secara Praktik regulasi terdapat kendala dalam pelaksanaan, khususnya mengenai syarat- syarat Pemberian Izin Pertambangan Rakyat (IPR) sebagaimana diatur dalam pasal 48 yang mengatur untuk mendapatkan IPR, pemohon harus memenuhi 3 syarat yaitu: Persyaratan administratif, persyaratan teknis, dan persyratan finansial. Dari ketiga syarat tersebut syarat yang mustahil di penuhi oleh penambang ialah persyaratan tekhnis sebab sebagaimana di atur dalam pasal pasal 48 ayat (2) huruf (b) yaitu berupa surat pernyataan yang memuat paling sedikit mengenai: a). Sumuran pada IPR paling dalam 25 meter, b). Menggunakan pompa mekanik penggulundungan atau permesinan dengan jumlah tenaga maksimal 25 horse poweruntuk 1 IPR, c).
Tidak menggunakan alat berat dan bahan peledak. Persyaratan ini tidak relevan mengingat lokasi pertambangan rakyat banyak potensi wilayah yang memiliksumuran lebih dalam dari 25 meter. Ini yang mengakibatkan munculnya penambangan ilegal di kawasan Hatu Tembaga.
Konflik norma Undang-Undang No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Khususnya Terkait Dengan Kewenangan pemberian izin, pemberian wilayah izin usaha, pembinaan dan pengawasan, serta penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah. Konflik norma terkait kewenangan perizinan yaitu tidak adanya kewenangan pemeberian Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Kelompok (IUPK), dan Izin Usaha Rakyat (IPR) oleh Bupati / Walikota serta atas kewenangan tersebut menjadi kewenangan Gubernur.
Begitu pula kewenangan pembinaan dan pengawasan dialihkan ke pemerintah provinsi. Namun atas peralihan tersebut tidak diikuti dengan peralihan kewenangan penetapan, pemungutan, dan penggunaan pajak daerah mineral bukan logam dan batuan yang berdasarkan UU No 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah berada dalam kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Konflik norma antara kedua Undang-Undang ini yang mengakibatkan praktik hukum yang bermasalah. Walaupun dalam pasal 407 Undang- Undang Pemerintahan Daerah mengatur pada saat Undang-Undang Pemerintahan Daerah mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan daerah wajib mendasarkan dan menyesuaikan peraturannya pada Undang-Undang Pemerintah Daerah.
Namun praktiknya, perubahan kewenangan perizinan, permbinaan, dan pengawasan menimbulkan potensi pertambangan ilegal. Sesungguhnya sebagaiamana penjelasan diatas tersebut terdapat dilematis terhadap penegakan hukum pidana terhadap kegiatan penambangan ilegal yang terjadi di kawasan Hatu Tembaga kecamatan Huamual. Hukum pidana sebagai Ultimum Remedium harus ditegakkan, namun sebelum penegakkan hukum pidana maka pembinaan dan pengawasan perlu dilakukan. Penambang skala kecil ini terlebih dahulu diberikan pemahaman bahwa kegiatan usahanya melanggar hukum sehingga sebaiknya penambang melakukan pengurusan izin usaha. Pengurusan izin usaha tersebut dilakukan harus melalui pembinaan dari instansi pertambangan mineral dan batubara di daerah yang melakukan supervisi dan konsultasi atas permohonan izin usaha penambang skala kecil. Apabila mekanisme ini tidak di perhatikan oleh pemerintah daerah, maka penambang-penambang skala kecil akan tetap melakukan kegiatan penambangan tanpa mengantongi izin. Sehingga dalam hal ini instrumen hukum pidana dapat diberlakukan. Inilah sesungguhnya fungsi dari hukum pidana sebagai sarana terakhir atas suatu penyelesaian sengketa dalam menuju ketertiban masyarakat.
Dilematis penegakan hukum atas pertambangan ilegal ini menjadi persoalan krusial bagi penyelenggara kegiatan usaha pertambangan, mengingat usaha atas kegiatan pertambangan ilegal dikategorikan sebagai perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 158 dan pasal 160 Undang-Undang No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Oleh sebab itu saya menyarankan kepada pemerintah daerah sebagai upaya penyelesaian pertambangan ilegal ini antara lain ; yang pertama, pemerintah daerah sebaiknya mmbuat kebijakan berbasis analisis biaya dan manfaat untuk memastikan kebahagiaan terbesar dari prinsip bilangan terbesar tercapai, yang kedua, terhadap kegiatan penambangan yang telah terjadi yang diduga sebagai perbuatan pidana. Maka aparat penegak hukum dan aparat terkait harus mengedepankan kebijkan nonpenal melalui Techno- Prevention, misalnya pembinaan dan pengawasan penambang skala kecil agar penambangan ilegal yang berada di kawasan Hatu Tembaga Kecamatan Huamual Kabupaten Seram Bagian Barat menjadi pertambangan yang sah. (**)
