Pengalaman Indonesia selama orde baru menunjukan kebijakan pertambangan lebih berpihak pada kepentingan pemodal asing melalui mekanisme kontrak kaya. Dalam praktiknya mekanisme kontrak karya ini telah menempatkan negara sebagai pihak yang inferior. Akibatnya, negara selaku pihak yang menguasai sumber-sumber pertambangan justru tidak mempunyai wewenang dan kedaulatan untuk melakukan kontrol atas bekerjanya perusahaan pemegang kontrak.
Transisi demokrasi politik yang diiringi perubahan pada institusi-institusi kekuasaan dan lembaga-lembaga demokrasi telah memberikan ruang politik lebih terbuka bagi warga dalam mengaktualisasikan kepentingan politik secara rasional. Seperti diketahui, di era kekuasaan orde baru ruang demokrasi bagi warga sangat terbatas karena kuatnya kontrol dari negara yang merampas hak-hak politik warga untuk mengekspresikan aspirasi politik secara terbuka di tengah sistem kekuasaan otoriter. Praktik kekuasaan oligarki orde baru tidak saja mewarnai struktur politik tetapi juga pada struktur ekonomi yang di dominasi oleh elit-elit orde baru dan kroni bisnis (business-client) Suharto. Pola struktur birokrasi paternalistik ini Karl D. Jakson menyebut sebagai bureaucratic polity yang memberikan struktur bagi kelompok oligarki atau para predator ekonomi untuk mengakumulasi sumber daya ekonomi negara secara monopolistik.
Era demokratisasi tidak serta merta diiringi dengan tumbangnya kekuatan oligarki predatoris, justru terdesentralisasi ke daerah. Era demokratisasi yang melahirkan perubahan institusi kekuasaan sebagai upaya mengakhiri kekuasaan oligarki dan praktek korupsi,kolusi dan nepotisme (KKN) melalui kelembagaan baru (new institusionalism), tetapi justru dimanfaatkan kembali oleh aktor lokal untuk menguasai institusi demokrasi (lembaga legislatif dan partai politik). Oleh sebab itu Di era demokratisasi yang diiringi kebijakan desentralisasi dan pilkada langsung telah melahirkan sisi gelap demokrasi (the dark side of democracy).
Dalam pernyataan Presiden Republik Indonesi Joko Widodo Tanggal 26 February 2016 menyatakan bahwa keputusan mengenai Blok Masela masih dalam proses studi dan baru akan diputuskan pada tahun 2018. Pernyataan ini yang akan memperlihatkan kepada kita nanti, bagaimana eksistensi keterlibatan sejumlah para pengusaha tambang menjadi political broker dalam Pilkada Maluku 2018 mendatang.
Sebab dalam Laporan dari Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (Litbang KPK) berjudul, “Studi Potensi Benturan Kepentingan Dalam Pendanaan Pilkada 2015”, memaparkan, biaya yang dibutuhkan untuk menjadi Walikota/Bupati mencapai Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar, sedangkan untuk menjadi Gubernur bisa mencapai Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar. Selanjutnya, Laporan Harta dan Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), menunjukkan total harta kekayaan calon Kepala Daerah pada 2015 rata-rata hanya mencapai Rp 6,7 miliar. Kekayaan para calon kepala daerah ternyata tidak sebanding dengan kebutuhan biaya yang sangat besar yang dibutuhkan untuk mengikuti kontestasi Pemilukada langsung. Sehingga untuk menutupi kebutuhan biaya tersebut para kandidat giat mencari sponsor.
Kekhawatiran saya dalam pilkada Maluku 2018 mendatang akan menjadi arena kontensasi para aktor lokal membangun patronase dan berinvestasi politk sebagai donatur bagi kandidat Kepala Daerah yang dimana lahan pertambangan di Maluku menjadi taruhan dalam ajang pilkada 2018 mendatang terutama Blok Masela. Hal ini pasti terjadi dimana pada proses pilkada Maluku yang akan mendatang diwarnai dengan persengkokolan politik dan bisnis, jika dalam penyelenggaraan pemerintah pasca pilkada nanti, kepala daerah yang terpilih akan lebih memberikan loyalitasnya kepada para klien politik (political client) dan klien bisnisnya (business client) dari pada konstituen.
Gubernur Maluku yang akan terpilih nantinya pada priode 2018-2023 mempunyai andil besar terhadap keputusan atau kebijakan terhadap pertambangan Blok Masela, faktor ini disebabkan oleh adanya pemerintah bayangan dan bos lokal yang akan mengendalikan serta mendikte kebijakan pemerintah, khususnya kebijakan yang terkait dalam pengelolaan pertambangan dan menyadera institusi kekuasaan dan penguasa daerah, sebab para penguasaha tambang memiliki andil besar dalam dukungan dana (supporting financial) untuk memenangkan sang calon penguasa dalam proses pilkada.
Saya memprediksikan bahwa Pasca Pilkada Maluku 2018 mendatang akan menimbulkan isu tentang kebijakan pertambangan yang ada di Maluku terutama pertambangan Blok Masela, hal ini menjadi arena patronase dan transaksional untuk kepentingan ekonomi dan politik, serta jaringan bisnis hanya akan berputar di sekitar orang-orang yang telah berhasil masuk dalam jaringan kekuasaan dan membentuk business client di bawah proteksi kekuasaan Pejabat Publik (Gubernur) yang terpilih dalam proses Pilkada. Sebab para akktor yang bermain dalam arena industri pertambangan adalah orang-orang yang lahir sebagai business client, shadow goverment, dan local bossim yang dipelihara dan dibesarkan oleh penguasa daerah yang telah memainkan permainan untuk berkontribusi dalam proses pilkada nantinya. Kendati demikkian, para aktor ini akan berusaha nantinya membangun relasi kuasa dengan lembaga legislatif untuk mendapatkan dukungan kebijakan melalui pembuatan sejumlah peraturan daerah (perda) yang berkaitan dengan kebijakan pengelolaan pertambangan Blok Masela pada tahun 2018. Konspirasi sistematis ini nantinya akan menempatkan pengusaha tambang sebagai local strongmen dalam bidang ekonomi artinya bahwa kebijakan pertambangan nantinya lebih mengakomodir kepentingan elite dari pada masyarakat.
Oleh sebab itu saya mengingatkan kepada masyarakat Maluku khususnya kaum intelektual, jangan kaget ketika oligarki ekonomi pertambangan khususnya pertambangan Blok Masela di Maluku nantinya dalam pengelolaan yang telah dibesarkan oleh proteksi kebijakan pengusaha daerah sebagai business client. Dikarenakan bahwa para business client adalah para loyalis penguasa daerah dalam hal ini Gubernur yang memiliki hubungan kepentingan bisnis dan politik yang sebelumnya ikut bermain dalam arena pilkada Maluku mendatang. Para pihak yang terlibat dalam arena pilkada mendatang nantinya akan tampil sebagai rent-seekers dalam pengelolaan pertambangan atau mafia tambang. Pemberian izin usaha pertambangan akan lebih mudah diberikan bagi para businnes client sebagai bentuk balas budi politik karena berhasil memenangkan kandidat tersebut dalam pertarungan politik atau prose pilkada. (Muhamaad Ali Suneth)
