Nasional

Aksi Teror di Indonesia yang Pakai Telegram untuk Komunikasi

JAKARTA- Aplikasi Telegram menjadi perbincangan hangat di jagat maya Indonesia belakangan ini setelah akses webnya diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) sejak Jumat (14/7) lalu. Blokir dilakukan atas dasar konten terorisme dan radikalisme yang banyak dijumpai dalam layanan aplikasi pesan tersebut.

Dalam jumpa pers yang diselenggarakan di kantor Kemkominfo, Jakarta, Senin (17/7), Kemkominfo bersama BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) mengungkap aksi-aksi teror di Indonesia sejak 2015 hingga 2017 ternyata memanfaatkan Telegram sebagai sarana komunikasinya.

“Dari semua aksi teror di Indonesia sejak 2015 memanfaatkan Telegram, hanya ada dua aksi yang tidak menggunakannya,” ujar Dirjen Aplikasi Informatika (Aptika) Kemkominfo, Semuel A. Pangerapan sebagaimana dilansir Kumparan.Com.

Dalam paparannya, Semuel mengungkap ada 17 aksi teror di Indonesia yang dilancarkan berkat komunikasi lewat Telegram. Berikut daftarnya:

– 23 Desember 2015: Rencana bom mobil tempat ibadah dan pembunuhan Ahok

– 14 Januari 2016: Bom dan penyerangan bersenjata api di jalan M.H. Thamrin, Jakarta

– 5 Juni 2016: Bom Mapolresta Surakarta

– 8 Juni 2016: Rencana pengeboman Pos Pol Lantas Surabaya

– 28 Agustus 2016: Bom Gereja Santa Yoseph Medan

– 20 Oktober 2016: Penyerangan senjata tajam Pos Pol Lantas Tangerang

– 13 November 2016: Bom Gereja Oikumene Samarinda

– 23 November 2016: Rencana pengeboman DPR RI dan DPRD

– 10 Desember 2016: Rencana pengeboman Istana Merdeka

– 21 Desember 2016: Rencana pengeboman Pos Polisi Tangerang

– 25 Desember 2016: Rencana penyerangan senjata tajam Pos Polisi Bundar Purwakarta

– 27 Februari 2017: Bom Cicendo Bandung

– 8 April 2017: Penyerangan senjata api Pos Polisi Tuban

– 27 Februari 2017: Bom Kampung Melayu Jakarta

– 25 Juni 2017: Penyerangan senjata tajam penjagaan Mako Polda Sumut

– 30 Juni 2017: Penyerangan senjata tajam di Masjid Falatehan Jakarta

– 8 Juli 2017: Bom panci Buah Batu Bandung

Atas dasar aksi-aksi inilah, dan didukung oleh data lain, Kemkominfo memutuskan untuk memblokir Domain Name System (DNS) dari Telegram untuk menahan banyaknya kanal (channel) terorisme di layanannya. Semuel mengklaim pemblokiran bisa dibilang efektif karena para teroris itu mulai kalang kabut mencari sarana komunikasi lain.

Diblokirnya web dari Telegram sendiri dilakukan Kemkominfo karena ada fitur pengiriman file besar 1,5 GB yang hanya bisa digunakan lewat versi web. Fitur ini disebut sering dimanfaatkan teroris dalam bertukar informasi. (IN/KUM)

Print Friendly, PDF & Email
Comments
To Top