Tenun Tanimbar, Warisan Budaya Masyarakat Adat

Tenun khas Tanimbar memang merupakan salah satu warisan budaya yang diturunkan dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Maluku Tenggara Barat. Sebagai bagian dari hidup masyarakat Tanimbar, kain tenun pasti akan hadir menjadi satu diantara barang yang bernilai dalam upacara adat maupun upacara yang bersifat resmi mulai dengan pelaksanaan upacara kelahiran, perkawinan, sampai pada upacara kematian.
Zaman dulu pembuatan kain tenun digunakan dari bahan dasar kapas yang berasal dari pepohonan yang dipintal menjadi benang, prosesnya juga memakan waktu yang lama. Namun seiring waktu berjalan, pembuatan kain tenun kini sudah modern dan lebih praktis yaitu digunakan benang yang dijual di toko.
Warna dan motifnya pun beragam ada motif seperti pohon, manusia, ikan, katkatan (alat tenun), vatvedan (penyumbat), bunga-bungaan, sair sikaras (bendera bergerigi), siaha (anjing), kembang jambangan dan niri (lebah). Corak lainnya yang juga dapat ditemukan adalah seperti abo (perahu), tamar akar (pohon bambu), wulan lihir (bulan sabit), fangat (ular cincin), kembang mayang, iwar ihin (burung), ngarngar wulan (kodok), kilun loan koa (bunga), sula (laor), serta kilun eet (kalajengking).
Tradisi menenun hingga saat ini dilakukan lebih bervariasi dengan menggunakan bermacam warna yang meriah. Kain yang tadinya hanya penuh dengan garis-garis dan jalur sepadan, kini mulai ada yang dibuat dominan polos. Hanya beberapa jalur ikat sehingga terkesan lebih sederhana, bersih dan modern. Penggunaannya pun cocok untuk perlengkapan rumah dan pernak-pernik hiasan
Selain unik kain Tenun memiliki sejumlah arti filosofis yang dalam maknaya. Kain tenun kini telah berkembang luas sampai di seluruh Maluku bahkan telah dijadikan sebagai cindera mata atau salah satu produk unggulan dunia pariwisata dari Kabupaten yang berdiri tahun 1999 ini.
Proses menenun juga bisa memakan waktu berminggu bahkan bulan, namun memang hasil yang didapatkan pasti memuaskan. Masyarakat Tanimbar diharapkan harus lebih menghargai warisan tenun ini dengan mengenakannya bahkan dipajang di tempat kediaman sebagai bentuk cinta dan melestarikan budaya. (Jenci Elisabeth Ratumassa)
