Jelang HPN, Kominfo Gelar Diskusi Publik

AMBON,MALUKU- Guna mensosialisasikan kerja pers secara luas kepada masyarakat, Direktorat Jenderal (Dirjen) Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Republik Indonesia menggelar Diskusi Publik yang dipusatkan di Swissbell Hotel, Selasa (7/2) dan diikuti oleh unsur birokrasi pemerintahan, pers dan mahasiswa.
Kepala Bagian Komunikasi Pimpinan dan Protokol Sekretariat Kota Ambon, Steiven Patty dalam laporannya mengatakan tujuan kegiatan yang dilaksanakan untuk menggugah, menumbuhkan dan memperkuatkan seluruh insan pers dengan berbagai segmen masyarakat untuk berpikir kritis dan memahami dasar serta keberadaan pers di Indonesia.
Selain itu, menurut Patty kegiatan ini dilaksanakan guna memberikan wawasan kepada peserta untuk lebih mengenal dunia pers sebagai penjaga kedamaian dalam kerangka NKRI dan pendorong pembangunan.
Dia menuturkan, sejumlah narasumber ternama dihadirkan dalam diskusi tersebut diantaranya, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo RI, Dra Rosarita Niken Widiastuti, Pengamat Media Nukman Lutfie, Wina Armada Sukardi (Sekretrais Dewan Kehormatan PWI Pusat), Sekretaris Dewan Penasehat PWI Pusat Noeh Hatumena dan Nico Wattimena yang berstatus sebagai Anggota Dewan Penasehat PWI Pusat).
Dalam sambutan Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo RI, Dra Rosarita Niken Widiastuti mengatakan, pers merupakan unsur dan bagian yang sangat penting dalam pilar kebangsaan dan bernegara sehingga prinsip kerjanya harus profesional.
Disamping itu, pers sebagai corong dan media penyalur aspirasi rakyat untuk dapat berelaborasi dengan berbagai pihak dalam mendapatkan data terbaru.
Informasi yang disampaikanpun harus mendidik dan bisa membawa sebuah perubahan sehingga informasi yang disampaikan bisa ditangkap dan dimengerti oleh masyarakat dan tidak menyesatkan.
Selain itu, Sekretaris Dewan Penasehat PWI Pusat, Noeh Hatumena dalam materinya terkait jurnalisme damai mengatakan, banyak faktor pencetus konflik, namun satu penyebab yang pastiadalah faktor informasi yang dikonstruksi media masa sesuai seleranya dan dijadikan sebagai realitas sosial. Salah satu contoh, konflik yang terjadi 1999 silam, dikarenakan ada pers yang masih dikotomi bahasa KATONG dan KAMONG, bahkan salah menggunakan informasi sehingga membakar pikiran masyarakat, namun dirinya menghimbau agar pers Maluku dimasa kini harus lebih mengutamakan solidaritas dan perdamaian.
Kedepannya, dirinya menekankan agar para jurnalisme dapat menghindari jurnalisme konflik. Karena, katanya jurnalisme konflik ada untuk sengaja mengangkat isu yang sensitif dan mengandung SARA sehingga menimbulkan perpecahan di daerah.
“Jangan coba-coba masuk dalam ranah itu, karena sangat fatal jadinya dan akan berdampak pada kegaduhan dan perpecahan sebuah daerah,”tandasnya. (IN-04)
